Menjelang berakhirnya masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2009-2014, kritikan keras kembali datang. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memberikan rapor merah untuk anggota DPR dalam hal pembahasan dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pada intinya, lembaga swadaya ini miris lantaran DPR membiarkan pemerintah boros dalam menggunakan APBN untuk menggaji PNS dan di sisi lain justru APBN tidak dinikmati langsung oleh rakyat.
"DPR menyetujui APBN sebatas berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja, yang dibuktikan dengan tetap mempertahankan belanja pegawai dan barang," kata Sekretaris Jenderal FITRA Yenny Sucipto dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (10/3).
Mosi tidak percaya terhadap para anggota DPR periode lima tahun terakhir sudah semakin besar. Karena dianggap tidak becus dalam perencanaan, pembahasan hingga pengawasan anggaran, Fitra meminta masyarakat tidak perlu memilih kembali calon legislatif yang termasuk petahana (incumbent) saat pemilu bulan depan.
Alasannya, selama lima tahun terakhir mereka tidak menjalankan komitmen anggaran yang berpihak pada kepentingan publik. "Hanya saja, kegelisahan kita wajah-wajah caleg 2009-2014 itu masih mendominasi pada pemilihan saat ini," ujarnya.
Merdeka.com merangkum lima rapor merah yang diberikan Fitra soal pengelolaan, perencanaan, pembahasan sampai pengawasan anggaran oleh DPR. Berikut paparannya.
1. Bansos rawan diselewengkan
Alokasi dana Bantuan Sosial (bansos) di APBN menunjukkan tren meningkat setiap memasuki tahun pemilu. Untuk 2014, alokasinya sebesar Rp 25,6 triliun disalurkan ke 10 kementerian yang pimpinannya berasal dari partai politik.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) ?Yenny Sucipto menilai kondisi ini membuat bansos rawan jadi dana bancakan politikus.
"Kita ada datanya, 2004 meningkat, 2009 meningkat, tahun ini jelang pemilu juga meningkat. Masalahnya, kenaikan anggaran bansos ini tanpa ada indikatornya yang jelas," kata Yenny di Jakarta, Senin (10/3).
Masalah bertambah pelik lantaran Rp 25,6 triliun dianggarkan di kementerian yang dipimpin petinggi parpol. Yenny heran, mengapa dana bansos di 10 kementerian itu bahkan bisa lebih tinggi dari total anggaran kesehatan tahun ini.
"Kita melihat Rp 25,6 triliun kan tersebar di 10 kementerian berpartai, ini bisa jadi alat mobilisasi di tingkat bawah, kan menyebar di kabupaten atau kota," tudingnya.
2. Laba ditahan BUMN bisa jadi bancakan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2009-2014 dianggap tak memahami konsep laba ditahan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dana mengendap itu dibiarkan saja, padahal dapat dimanfaatkan untuk membiayai subsidi yang berkaitan dengan rakyat.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto di Jakarta, Senin (10/3). Bahkan, uang dari perusahaan pelat merah terkesan dibiarkan untuk jadi bancakan pencari rente.
"Laba ditahan BUMN sebesar Rp 407,5 triliun berpotensi dimanfaatkan kelompok kepentingan karena tidak ada aturan yang jelas dalam pengelolaan laba ekspansi tersebut," ujarnya.
3. Tidak peka dalam pembahasan anggaran
Fitra juga mengeluhkan tidak pekanya anggota DPR dalam pembahasan dan persetujuan anggaran negara. Sehingga tahun lalu menyetujui usulan pemerintah memangkas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tanpa harus menaikkan harga di level konsumen, kebutuhan subsidi, menurut FITRA dapat ditambal dari keuntungan perusahaan pelat merah. Apalagi, kebijakan penaikan harga BBM dari hitungan Yenny, justru menambah 20 persen terhadap APBN 2013.
"Padahal laba ditahan (BUMN) dapat meng-cover pembengkakan subsidi BBM Rp 16,1 triliun dan kompensasi Rp 30 triliun, tanpa harus menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.500 per liter," kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto.
4. Anggaran tak bersentuhan dengan rakyat
Susunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama lima tahun terakhir tidak pernah menyentuh kepentingan masyarakat secara konkret.
Salah satu contohnya adalah anggaran kesehatan selama periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibiarkan DPR di kisaran 2 persen dari total APBN. Padahal, sesuai UU nomor 36 Tahun 2009, seharusnya uang negara minimal digelontorkan 5 persen dari total anggaran untuk kebutuhan kesehatan.
Belum lagi anggaran infrastruktur, yang penting buat menggenjot perekonomian riil, tak pernah melampaui kisaran 10 persen dari total APBN.
Lembaga swadaya ini miris, lantaran DPR membiarkan pemerintah boros dalam menggunakan APBN untuk menggaji PNS.
"DPR menyetujui APBN sebagai kebijakan yang tidak bersentuhan dengan rakyat, kecuali sebatas berorientasi pada pertumbuhan ekonomi saja, yang dibuktikan dengan tetap mempertahankan belanja pegawai dan barang," kata Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (10/3).
5. Tak penuhi kebutuhan daerah
Alur keuangan dari pusat ke daerah sangat timpang. Mayoritas kabupaten/kota terlalu bergantung pada politik anggaran pusat. Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto menuturkan, akar persoalannya adalah tak adanya kemerataan ekonomi.
Fitra mencatat dari 524 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 60 daerah yang kaya dan APBD-nya memadai. Pemda lainnya terlalu mengandalkan anggaran dari pusat, dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK).
"Proses penyusunan anggaran kita top down, tidak bottom up. Tidak sesuai kebutuhan daerah masing-masing. Akhirnya kesenjangan ini tidak pernah terselesaikan sampai sekarang," ungkapnya.
Hal ini diperparah dengan hobi pemerintah memperbesar belanja pegawai, dibanding belanja infrastruktur. Belum lagi, ada tren DPR memuluskan niat pemekaran sejumlah provinsi baru sampai beberapa tahun ke depan.
Padahal, kata Yenny, pemekaran pasti berdampak pada alokasi APBN. Tetapi, selalu yang diprioritaskan cuma pertumbuhan ekonomi atau besaran nilai tukar tahun depan yang sangat abstrak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar